Tampilkan postingan dengan label tentang rasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tentang rasa. Tampilkan semua postingan
Jumat, 31 Mei 2019
Perihal Rasa
Siang hari menjelang sore di beranda rumahnya, bu Tia dan Santi, anak perempuannya duduk santai sambil menikmati pisang goreng yang dibelinya di warung sebelah rumah. Sambil mecomoti sedikit demi sedikit pisang yang masih panas, Santi bertanya suatu hal kepada sang ibu tentang bagaimana jika dua orang menikah tanpa didasari oleh rasa cinta. Sang ibu hanya tersenyum dan heran dengan pertanyaan putrinya. “Memangnya kamu mau menikah dengan siapa?” katanya sambil meledek, “Masa sih udah pacaran tapi ngga cinta?” ledeknya lagi sambil sesekali melirik ke wajah Santi yang sembari sibuk meniupi pisang goreng yang tak kunjung dingin.Akhir-akhir ini sang ibu berfirasat tidak enak kepada putrinya. Yang menjadi topik pembicaraannya selalu mengenai pernikahan yang didasari tanpa rasa cinta.
Sang ibu memaklumi di umur-umur seperti putrinya saat ini memang sedang galau-galaunya memilih pasangan yang mapan, baik dan bertanggung jawab. Sang ibu tahu bahwa putrinya sudah memiliki kekasih, namun justru yang sampai saat ini masih dicintainya adalah mantan kekasihnya. Tapi, kekasih Santi saat ini adalah sosok seorang laki-laki yang baik, mapan, dan sangat mencintai Santi. Berkat kebaikannya itu lah Santi menjadi luluh dan ingin mencoba mengenalnya terlebih dahulu.Tiba-tiba sang ibu bercerita tentang kisah asamaranya selagi muda, “Dulu ibu juga merasakan apa yang Santi rasakan.
Dulu, sebelum menikah dengan ayahmu, ibu punya pacar yang sudah mapan pekerjaannya, cukup umurnya, tampan, dan ibu sangat menyukainya”, “Tapi kenapa ibu malah memilih menikah dangan ayah?” celetuknya tiba-tiba. “Nah itu, fisik dan materi yang dimilikinya saja ternyata tidak cukup nak. Kita juga harus melihat sifat dan kepribadiannya. Dulu, pacar ibu ditempatkan kerja di luar kota. Lama sekali tak ada kabar. Tiba-tiba waktu pulang ke rumah dan menemui ibu, ia bilang kalau ia tidak suka dengan tanda lahir yang ada pada tangan ibu ini. Eh ternyata, bukan itu alasan sesungguhnya.
Di luar kota, ia menghamili wanita lain dan akan segera menikahinya”, “Ciyeeeeeee ibu cemburu ni ye, sakit hati” ledek Santi pada ibunya. “Hmm, lalu datanglah ayahmu itu. Dia dulunya musuh ibu, entah mengapa tiba-tiba dia main ke rumah dan mengejek ibu yang baru putus cinta. Lalu ayahmu bilang kalau satu bulan kedepan kamu dan aku tidak juga memiliki pasangan, yasudah kita menikah saja” Santi semakin fokus mendengarkan cerita sang ibu. “Ibu juga takut awalnya, tapi lama-lama karena terbiasa bersama maka tumbuhlah rasa sayang dan cinta sampai hari ini. Yang terpenting itu, seorang laki-laki harus mencintai wanitanya dengan tulus, menghargai wanita dengan baik, pastilah wanita itu akan luluh dan sayang”.
Santi kembali pada pisang gorengnya dengan pikiran entah kemana. Ia seperti memikirkan perasaannya. Ia berlari ke kamarnya dan merenungi sendiri apa yang tengah dirasakannya.Beberapa waktu kemudian, Santi ingin mencoba seperti ibunya, toh mantan kekasihnya juga tak kunjung kembali, ia juga sudah bersama yang lain dan tak pernah peduli lagi dengan perasaan Santi. Akhirnya Santi pun menghargai tawaran kekasihnya untuk melamar. Sang ibu yang sudah tau akan sifat kekasih Santi tersebut mengizinkannya untuk berkunjung ke rumah.Kekasih Santi sudah mendapatkan izin dari kedua calon mertuanya. Ia melamar dan menikahi Santi. Setelah pernikahan itu, Santi merasa bahwa dirinya benar-benar bahagia. Ketakutan-ketakutan yang dulu datang pada dirinya, kini sirna sudah. Santi memiliki seorang suami yang baik, mapan, dan sangat mencintainya.
Langganan:
Postingan (Atom)